Puisi-puisi Tjahjono Widarmanto
SENYUMMU, IBU
tak pernah tuntas kutafsirkan senyummu, ibu
rinduku selalu tumpah pada alis matamu.
di sana telah kutemukan segala rahasia.
dunia yang selalu kau dongengkan dengan penuh cinta
rahasia kepompong yang berubah jadi kupu-kupu
sebuah taman dengan warna-warni
tempat para nabi dahulu mengajarkan cinta kasih
selalu takjub kukenang senyummu, ibu
di sanalah selalu kupandang pelangi
harapan selalu cerah merenda masa depan
kukenang selalu senyummu, ibu
sebab di sana tak pernah usai kutafsirkan makna dunia
biarlah aku mengecupnya.
dengan kasih sayang yang selalu kau ajarkan.
Ngawi, 2009
DALAM CAHAYA MATA IBU
dalam cahaya
mata ibu aku belajar merangkai kata
untuk
menuliskan rasa cinta mengabarkan rindu pada Tuhan
yang tak
pernah bertepi,
sebab pada
mata ibu kali pertama kukenal wajah Tuhan
dalam cahaya
mata ibu aku belajar merangkai kata
agar dapat
mencatat setiap alpa dan lupa
hingga dapat
menerka segala cuaca
dalam cahaya
mata ibu aku belajar merangkai puisi
sebab, hanya
dengan puisi bias kulukis senyum Tuhan
dalam cahaya
mata ibu aku belajar membaca waktu
dalam cahaya
ibu aku belajar mendekap cinta tak pernah fana
Ngawi, 2013
NASIHAT IBU
SAAT GERIMIS
Saban
gerimis tiba
Ibu selalu
berkata
Bahwa segala
waktu segera fana,
Segala tangis
tak mampu menampung luka
Kelak segalanya
akan buta
Segelap manusia
segera berlari menuju goa-goa purba
Membaca catatan
di garis tangan sendiri.
Saban gerimis
tiba
ibu selalu
ingatkan
kita adalah
musyafir yang berangkat renta
melangkah
gontai seperti seekor unta
terengah-engah
seberangi jazirah-jazirah,
terkantuk-kantuk
tapaki jalan-jalan menanjak,
penuh
berserak batu dan semak.
Menuju tempat
terakhir meletakkan sujud
Dan puing-puing
kenangan yang tersisa.
Gerimis pun lebat
Ibu mengingatkan
kita
Untuk segera
bersedekap jari
Ngawi, 2009
HANYA DOA
INI, IBU
hanya
melalui sebait puisi, tanpa bunga, doa itu kukirim untukmu:
“peluklah,
ibu, walau anakmu telah jauh berlayar!”
pada dadamu
yang tipis digerus usia
ingin aku
kembali sembunyikan tangis
sebab aku
tahu dada yang tipis itu
menyimpan
seribu mata air yang selalu lapang menyimpan keluh.
tanpa bunga,
hanya sebait puisi, lipatlah doa ini di dadamu
walau aku
tahu sepanjang usia tak cukup mengagungkanmu,
puisi dan
doaini simpanlah di laci hatimu paling dalam
walau aku
tak pernah tahu bisakah bermakna.
peluklah,
doa ini ibu, walau tanpa bunga,
peluklah
walau anakmu telah berlayar jauh
namun di
dadamu jua hatinya selalu berlabuh
Ngawi-Kuala
Lumpur, 2008
MELINTASI
MATAHARI
menapak hari
melintasi matahari
jejak-jejak
kabur
membujur
melintasi serpihan umur
batas senja
yang kabur
lintasan
yang panjang
jejak yang
melilit-lilit
urat-urat
tampar, urat-urat peram
melintasi
matahari menapak diri
silih
berganti batu tersandung
perjalanan
terus melaju
tak kenal
usai
kabut
tinggal selaput
jangan
pernah gentar hanya karena sekadar lelah yang larut:
-ya, benar
katamu, bunda
impian harus
dijaga, harus dikejar
jangan
pernah tergesa kalah
Tuban, 2009
SAJAK YANG
LAHIR DARI CAHAYA MATA IBU
cahaya itu
menyala dalam sajakku
menjelma
lentera bagi para mualim yang jauh dari pesisir
menjadi
isyarat mengetuk hati dengan senyum dibibir
cahaya itu
pun menyala dalam relung paling paling rahasia di dada
dalam cahaya
matamu selalu kujumpai rumah
yang selalu
tulus melambai mengajakku istirah
melepas
penat dengan belai paling syahdu melebihi doa
apapun jua
jiwaku
selalu menggigil menatap cahaya mata itu
selalu
merasa dungu tak pernah bias menangkap rahasia
pesona sabar
dan hening
setiap
kupandang matamu itu, selalu cahaya
akan
mengelus luka-luka membasuh setiap penat.
ibu, langit
selalu bertabur warna
kerlip
bintang dalam malam selalu takluk pada cahaya bulan
siang yang
geram akan merunduk pada cahaya mentari
namun
segenap bintang, bulan, dan mentari akan tunduk pada cahaya matamu
dan, dalam
sajakku ini kuabadikan cahaya matamu!
Ngawi, 2009
No comments:
Post a Comment