Saturday 4 January 2014

Puisi-Puisi Kedaulatan Rakyat, 29 Desember 2013

Puisi-puisi Tjahjono Widarmanto


SENYUMMU, IBU


tak pernah tuntas kutafsirkan senyummu, ibu
rinduku selalu tumpah pada alis matamu.
di sana telah kutemukan segala rahasia.
dunia yang selalu kau dongengkan dengan penuh cinta
rahasia kepompong yang berubah jadi kupu-kupu
sebuah taman dengan warna-warni
tempat para nabi dahulu mengajarkan cinta kasih


selalu takjub kukenang senyummu, ibu
di sanalah selalu kupandang pelangi
harapan selalu cerah merenda masa depan
kukenang selalu senyummu, ibu
sebab di sana tak pernah usai kutafsirkan makna dunia
biarlah aku mengecupnya.
dengan kasih sayang yang selalu kau ajarkan.


Ngawi, 2009



DALAM CAHAYA MATA IBU

dalam cahaya mata ibu aku belajar merangkai kata
untuk menuliskan rasa cinta mengabarkan rindu pada Tuhan
yang tak pernah bertepi,
sebab pada mata ibu kali pertama kukenal wajah Tuhan

dalam cahaya mata ibu aku belajar merangkai kata
agar dapat mencatat setiap alpa dan lupa
hingga dapat menerka segala cuaca

dalam cahaya mata ibu aku belajar merangkai puisi
sebab, hanya dengan puisi bias kulukis senyum Tuhan

dalam cahaya mata ibu aku belajar membaca waktu
dalam cahaya ibu aku belajar mendekap cinta tak pernah fana

Ngawi, 2013


NASIHAT IBU SAAT GERIMIS

Saban gerimis tiba
Ibu selalu berkata
Bahwa segala waktu segera fana,
Segala tangis tak mampu menampung luka
Kelak segalanya akan buta
Segelap manusia segera berlari menuju goa-goa purba
Membaca catatan di garis tangan sendiri.

Saban gerimis tiba
ibu selalu ingatkan
kita adalah musyafir yang berangkat renta
melangkah gontai seperti seekor unta
terengah-engah seberangi jazirah-jazirah,
terkantuk-kantuk tapaki jalan-jalan menanjak,
penuh berserak batu dan semak.
Menuju tempat terakhir meletakkan sujud
Dan puing-puing kenangan yang tersisa.

Gerimis pun lebat
Ibu mengingatkan kita
Untuk segera bersedekap jari

Ngawi, 2009

 
HANYA DOA INI, IBU


hanya melalui sebait puisi, tanpa bunga, doa itu kukirim untukmu:
“peluklah, ibu, walau anakmu telah jauh berlayar!”

pada dadamu yang tipis digerus usia
ingin aku kembali sembunyikan tangis
sebab aku tahu dada yang tipis itu
menyimpan seribu mata air yang selalu lapang menyimpan keluh.

tanpa bunga, hanya sebait puisi, lipatlah doa ini di dadamu
walau aku tahu sepanjang usia tak cukup mengagungkanmu,
puisi dan doaini simpanlah di laci hatimu paling dalam
walau aku tak pernah tahu bisakah bermakna.

peluklah, doa ini ibu, walau tanpa bunga,
peluklah walau anakmu telah berlayar jauh
namun di dadamu jua hatinya selalu berlabuh

Ngawi-Kuala Lumpur, 2008


MELINTASI MATAHARI

menapak hari melintasi matahari
jejak-jejak kabur
membujur melintasi serpihan umur
batas senja yang kabur

lintasan yang panjang
jejak yang melilit-lilit
urat-urat tampar, urat-urat peram
melintasi matahari menapak diri
silih berganti batu tersandung
perjalanan terus melaju
tak kenal usai
kabut tinggal selaput
jangan pernah gentar hanya karena sekadar lelah yang larut:
-ya, benar katamu, bunda
impian harus dijaga, harus dikejar
jangan pernah tergesa kalah

Tuban, 2009


SAJAK YANG LAHIR DARI CAHAYA MATA IBU

cahaya itu menyala dalam sajakku
menjelma lentera bagi para mualim yang jauh dari pesisir
menjadi isyarat mengetuk hati dengan senyum dibibir

cahaya itu pun menyala dalam relung paling paling rahasia di dada
dalam cahaya matamu selalu kujumpai rumah
yang selalu tulus melambai mengajakku istirah
melepas penat dengan belai paling syahdu melebihi doa
apapun jua

jiwaku selalu menggigil menatap cahaya mata itu
selalu merasa dungu tak pernah bias menangkap rahasia
pesona sabar dan hening
setiap kupandang matamu itu, selalu cahaya
akan mengelus luka-luka membasuh setiap penat.

ibu, langit selalu bertabur warna
kerlip bintang dalam malam selalu takluk pada cahaya bulan
siang yang geram akan merunduk pada cahaya mentari
namun segenap bintang, bulan, dan mentari akan tunduk pada cahaya matamu

dan, dalam sajakku ini kuabadikan cahaya matamu!

Ngawi, 2009

No comments:

Post a Comment